Ada tradisi jadul perihal pengelompokan godaan dalam 3 kategori: harta, tahta, dan wanita. Ungkapan jadul ini masih sering juga dinostalgiakan kaum jadul dari tradisi jadul.
Syukurlah Yesus sendiri tidak meng-kategorikannya dalam 3 golongan ini. Bisa dimaklumi. Yesus tentunya lebih paham dan bijaksana. Karena bagaimanapun “Sang Pencipta” tentunya menyayangi semua “makhluk2 ciptaan-Nya” dan tidak membeda2kannya.
Manusia yang diposisikan sebagai pemelihara ciptaan ini, dikondisikan dapat jatuh pada sikap koruptif akan kemampuannya, yang akhirnya membawa manusia kepada egoisme (lompatan spektakuler / kekuatan), materialisme (kerajaan / kekayaan) dan hedonisme (lapar / kepuasan).
Inilah sesungguhnya pencobaan yang dialami oleh Yesus di Padang Gurun, “keangkuhan hidup”, “keinginan mata” dan “keinginan daging”.
Iblis menggoda Yesus dengan pencobaan perut, dengan memerintahkan Yesus mengubah batu – batu menjadi roti, namun Yesus menolaknya.
Iblis lalu menggoda Yesus dengan pencobaan jiwa, dengan menggoda Yesus untuk menjatuhkan diri-Nya ke bawah, dan ditolak.
Iblis juga menggoda Yesus dengan menyerang tingkat roh agar Yesus menyembah Iblis dengan iming – iming kerajaan dunia dan kemegahannya. Tentu saja ditolak.
Pandangan jadul ini juga dianut Filsuf. Aristoteles misalnya. Pandangannya tentang wanita banyak mempengaruhi pemikiran yang mempengaruhi sejarah dan negativitas terhadap wanita. Aristoteles melihat wanita sebagai subjek laki-laki, walau lebih tinggi dari budak. Aristoteles percaya bahwa wanita lebih rendah daripada pria, karenanya cenderung suka mengurangi peran perempuan dalam masyarakat, dan mempromosikan gagasan bahwa perempuan harus menerima lebih sedikit makanan dan gizi daripada laki-laki.
Syukurlah Gurunya, Plato lebih terbuka untuk potensi kesetaraan laki-laki dan perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan barangkali tidak sama dengan laki-laki dalam hal kekuatan, tetapi setara dengan laki-laki dalam hal kapasitas rasional dan pekerjaan, karenanya di Republik yang ideal, keduanya harus dididik dan diizinkan untuk bekerja bersama.
Susanna Siegel, seorang Filsuf Amerika, mengajukan pikirannya terkait persepsi, dengan mengajukan pemikiran bahwa persepsi pun dapat dihasilkan dari halusinasi yang berbeda dari pengalaman visual standar, suatu masalah pengalaman yang dibajak. Argumen Siegel bahwa rasionalitas persepsi terkadang dihasilkan sebagai pertahanan konstruktif (keadaan / proses mental), bukan pengalaman perseptual rasional, namun sebagai proses mental yang melibatkan respons terhadap beberapa keadaan informasi (keyakinan/ anggapan/pengalaman/kontribusi lain (eg.bias implisit, prasangka, fenomena persepsi) yang menghasilkan kesimpulan, pembenaran, atau ketidakberdayaan, atau bisa juga gagasan baru dari pengalaman terkait keyakinan.
Banyak peneliti mengklaim bahwa hasil menunjukkan bahwa informasi yang disimpan mempengaruhi pengalaman persepsi, meskipun beberapa berpendapat bahwa itu hanya mempengaruhi penilaian.
Jadi pengalaman persepsi dapat dipengaruhi / dihasilkan dari kesimpulan dari informasi yang tersimpan.
Kita ditantang untuk kembali menjadi agen rasional, dengan mempertanyakan apakah struktur dan sistem persepsi kita (rasionalitas persepsi) memiliki arsitektur kognitif seperti itu (dari pertahanan konstruktif). Siegel menyebutkan faktor yang terkait dengan kepercayaan, ketakutan, keinginan, kecurigaan, atau prasangka yang mempengaruhi apa yang kita rasakan. Juga budaya, ingatan, pengetahuan, konsep, dan bahasa. Selain pikiran, tekanan, dan politik tentunya. Suatu realis naif.
Saatnya meng-evaluasi transisi yang membentuk keyakinan (individu).
Misalnya dalam memahami sifat-sifat baik sesuatu, Siegel mengemukakan akan terasa perbedaannya dalam kasus di mana seseorang melihat pohon pinus tanpa dapat membedakannya dari jenis pohon lain, dan kasus di mana seseorang telah memperoleh kapasitas untuk mengenali pohon pinus dan dapat dengan mudah membedakannya, atau mereka dari varietas lain. Dia mengklaim bahwa ada perbedaan fenomenal yang jelas secara intuitif antara dua kasus, yaitu, bahwa ada perbedaan antara bagaimana rasanya melihat pohon dari jenis yang dikenali dan bagaimana rasanya melihat pohon yang sama ketika jenisnya tidak dikenal. Sama ketika mempersepsi makna sosok wanita, dalam kasus melihat ibu (terkecuali dalam peran ibu antagonis) atau wanita asing.
Plautus, dalam Adagia Erasmus, menyinggung sebuah variasi pada peribahasa dalam: Lupus est homō hominī, nōn homō, quom quālis sit nōn nōvit (“Bagi manusia, manusia bukanlah manusia tetapi serigala ketika dia tidak tahu seperti apa yang lain”). Semoga kita tidak. Amin