Design a site like this with WordPress.com
Get started

SEBUAH JAWABAN

(THUS SPOKE ZARATHUSTRA)

Jadi hari inilah

ketika gereja kosong dan gelap
ketika Kristus melalui terminal seperti halnya pergulatan manusia
ketika Cahaya itu kembali hadir dan menerangi dunia

Jadi inilah harinya
ketika Gereja tidak kosong dan terang kembali
dan Altar berhias

Jadi inilah harinya
Cahaya Kristus
Syukur kepada Allah

Selamat Paskah! Pas-kah Tuhan?
Ya. Amin

O Buona Ventura!

O Buona Ventura !

Itu adalah seruan St Fransiskus Asisi yang sedang mendoakan Giovanni Di Fidanza yang sakit parah. Artinya: Oh peristiwa yang membahagiakan!

Dia menjadi sembuh, dan seruan itu akhirnya menjadi namanya: St Bonaventure (St Bonaventura).

Sosok ini telah dijadikan topik disertasi doktoral oleh Paus Benediktus 16. Ini pengakuan Paus ketika mengulang nostalgia dalam audiensi umum di suatu hari Rabu.

Seorang pemikir yang Kristosentris dengan sikap yang rendah hati, yang tetap bersahaja menyelesaikan dulu mencuci piringnya sebelum beranjak mengurus perihal pengangkatannya sebagai Kardinal. Ketika rekannya St Thomas Aquinas bertanya darimana sumber kebijaksanaan dan pengetahuannya, dia menjawab: “Saya mempelajari Kristus yang Di Salib.”

Bonaventura menunjuk salib dan meneruskan: “Ini adalah perpustakaan, dimana saya menemukan semua yang saya ajarkan kepada orang lain”.

St Fransiskus Asisi menjadi inspirasinya, yang disebutnya sebagai “seorang pria yang mencari Kristus dengan penuh semangat”.

Namun bukan berarti beliau (selalu) akur dengan St Thomas Aquinas. Salah satu kritiknya dalam kalimatnya yang terkenal: “Seseorang bertanya apakah semua pengetahuan berasal dari indra. Kita harus mengatakan bahwa tidak demikian, karena jiwa mengenal Tuhan dan dirinya sendiri dan apa pun yang ada di dalamnya tanpa bantuan indera luar.”

Yang artinya: seperti St Agustinus, dia setuju bahwa kita memang “memahami dengan intuisi murni bahwa Tuhan ada”

Namun dalam suatu wacana melembagakan Pesta Corpus Christi (Tubuh Kristus), Paus Urban IV (Urbanus IV) (1264) menunjuk St Bonaventura dan St Thomas Aquinas untuk menulis naskah yang akan dipakai dalam pesta penting ini.

Pada hari yang ditentukan, kedua orang suci ini, masing-masing dengan naskah di bawah lengannya, datang menghadap. St Thomas maju terlebih dahulu dan mulai membaca apa yang dia tulis.

Baik Paus Urbanus IV maupun St. Bonaventura mendengarkan dengan air mata penuh emosi karya indah Santo ini. Dan ketika St. Thomas masih membaca, St. Bonaventura membalik dan merobek naskahnya menjadi potongan-potongan kecil.

Ketika giliran St. Bonaventura tiba, dia mengakui apa yang telah dia lakukan dan mengatakan kepada mereka bahwa dia tidak lagi memiliki manuskripnya. St. Bonaventura menjelaskan bahwa dia menganggap karya St. Thomas saja yang layak untuk digunakan pada Adorasi Sakramen Mahakudus, oleh karena itu tidak perlu memperhitungkan pekerjaan buruknya sendiri.

O Buona Ventura !

Dan selama berabad-abad sekarang pada Adorasi Sakramen Mahakudus, di dalam setiap gereja Katolik terdengar nyanyian indah yang ditulis oleh tangan St. Thomas Aquinas. Dan sementara tidak ada yang akan pernah tahu apa yang ditulis dalam doa inspiratif St. Bonaventura.

O Buona Ventura !

Lagu yang ditulis St Thomas Aquinas itu adalah “Tantum Ergo” atau “O Salutaris Hostia.”

(Tantum Ergo)

Tantum ergo Sacramentum

Veneremur cernui:

Et antiquum documentum

Novo cedat ritui:

Præstet fides supplementum

Sensuum defectui.

Genitori, Genitoque

Laus et Jubilatio,

Salus, honor, virtus quoque

Sit et benedictio:

Procedenti ab utroque

Compar sit laudatio.

Amen.

(O Salutaris Hostia)

O salutaris Hostia,

Quae caeli pandis ostium:

Bella premunt hostilia,

Da robur, fer auxilium.

Uni trinoque Domino

Sit sempiterna gloria,

Qui vitam sine termino

Nobis donet in patria.

Amen.

si JADUL

Ada tradisi jadul perihal pengelompokan godaan dalam 3 kategori: harta, tahta, dan wanita. Ungkapan jadul ini masih sering juga dinostalgiakan kaum jadul dari tradisi jadul.

Syukurlah Yesus sendiri tidak meng-kategorikannya dalam 3 golongan ini. Bisa dimaklumi. Yesus tentunya lebih paham dan bijaksana. Karena bagaimanapun “Sang Pencipta” tentunya menyayangi semua “makhluk2 ciptaan-Nya” dan tidak membeda2kannya.

Manusia yang diposisikan sebagai pemelihara ciptaan ini, dikondisikan dapat jatuh pada sikap koruptif akan kemampuannya, yang akhirnya membawa manusia kepada egoisme (lompatan spektakuler / kekuatan), materialisme (kerajaan / kekayaan) dan hedonisme (lapar / kepuasan).
Inilah sesungguhnya pencobaan yang dialami oleh Yesus di Padang Gurun, “keangkuhan hidup”, “keinginan mata” dan “keinginan daging”.

Iblis menggoda Yesus dengan pencobaan perut, dengan memerintahkan Yesus mengubah batu – batu menjadi roti, namun Yesus menolaknya.
Iblis lalu menggoda Yesus dengan pencobaan jiwa, dengan menggoda Yesus untuk menjatuhkan diri-Nya ke bawah, dan ditolak.
Iblis juga menggoda Yesus dengan menyerang tingkat roh agar Yesus menyembah Iblis dengan iming – iming kerajaan dunia dan kemegahannya. Tentu saja ditolak.

Pandangan jadul ini juga dianut Filsuf. Aristoteles misalnya. Pandangannya tentang wanita banyak mempengaruhi pemikiran yang mempengaruhi sejarah dan negativitas terhadap wanita. Aristoteles melihat wanita sebagai subjek laki-laki, walau lebih tinggi dari budak. Aristoteles percaya bahwa wanita lebih rendah daripada pria, karenanya cenderung suka mengurangi peran perempuan dalam masyarakat, dan mempromosikan gagasan bahwa perempuan harus menerima lebih sedikit makanan dan gizi daripada laki-laki.

Syukurlah Gurunya, Plato lebih terbuka untuk potensi kesetaraan laki-laki dan perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan barangkali tidak sama dengan laki-laki dalam hal kekuatan, tetapi setara dengan laki-laki dalam hal kapasitas rasional dan pekerjaan, karenanya di Republik yang ideal, keduanya harus dididik dan diizinkan untuk bekerja bersama.

Susanna Siegel, seorang Filsuf Amerika, mengajukan pikirannya terkait persepsi, dengan mengajukan pemikiran bahwa persepsi pun dapat dihasilkan dari halusinasi yang berbeda dari pengalaman visual standar, suatu masalah pengalaman yang dibajak. Argumen Siegel bahwa rasionalitas persepsi terkadang dihasilkan sebagai pertahanan konstruktif (keadaan / proses mental), bukan pengalaman perseptual rasional, namun sebagai proses mental yang melibatkan respons terhadap beberapa keadaan informasi (keyakinan/ anggapan/pengalaman/kontribusi lain (eg.bias implisit, prasangka, fenomena persepsi) yang menghasilkan kesimpulan, pembenaran, atau ketidakberdayaan, atau bisa juga gagasan baru dari pengalaman terkait keyakinan.

Banyak peneliti mengklaim bahwa hasil menunjukkan bahwa informasi yang disimpan mempengaruhi pengalaman persepsi, meskipun beberapa berpendapat bahwa itu hanya mempengaruhi penilaian.
Jadi pengalaman persepsi dapat dipengaruhi / dihasilkan dari kesimpulan dari informasi yang tersimpan.

Kita ditantang untuk kembali menjadi agen rasional, dengan mempertanyakan apakah struktur dan sistem persepsi kita (rasionalitas persepsi) memiliki arsitektur kognitif seperti itu (dari pertahanan konstruktif). Siegel menyebutkan faktor yang terkait dengan kepercayaan, ketakutan, keinginan, kecurigaan, atau prasangka yang mempengaruhi apa yang kita rasakan. Juga budaya, ingatan, pengetahuan, konsep, dan bahasa. Selain pikiran, tekanan, dan politik tentunya. Suatu realis naif.

Saatnya meng-evaluasi transisi yang membentuk keyakinan (individu).
Misalnya dalam memahami sifat-sifat baik sesuatu, Siegel mengemukakan akan terasa perbedaannya dalam kasus di mana seseorang melihat pohon pinus tanpa dapat membedakannya dari jenis pohon lain, dan kasus di mana seseorang telah memperoleh kapasitas untuk mengenali pohon pinus dan dapat dengan mudah membedakannya, atau mereka dari varietas lain. Dia mengklaim bahwa ada perbedaan fenomenal yang jelas secara intuitif antara dua kasus, yaitu, bahwa ada perbedaan antara bagaimana rasanya melihat pohon dari jenis yang dikenali dan bagaimana rasanya melihat pohon yang sama ketika jenisnya tidak dikenal. Sama ketika mempersepsi makna sosok wanita, dalam kasus melihat ibu (terkecuali dalam peran ibu antagonis) atau wanita asing.

Plautus, dalam Adagia Erasmus, menyinggung sebuah variasi pada peribahasa dalam: Lupus est homō hominī, nōn homō, quom quālis sit nōn nōvit (“Bagi manusia, manusia bukanlah manusia tetapi serigala ketika dia tidak tahu seperti apa yang lain”). Semoga kita tidak. Amin

Nightbirde – It’s Okay

I moved to California in the summertime
I changed my name thinking that it would change my mind
I thought that all my problems they would stay behind
I was a stick of dynamite and it just was A matter of time, yeah

Oh, dang, oh, my,
now I can’t hide
Said I knew myself but I guess I lied
It’s okay, it’s okay
it’s okay, it’s okay
If you’re lost
We’re all a little lost
and it’s all right
It’s okay, it’s okay
it’s okay, it’s okay
If you’re lost
We’re all a little lost and it’s all right
It’s all right
it’s all right
It’s all right

I wrote a hundred pages, but I burned them all
Yeah, I burned them all
I blow through yellow lights and don’t look back at all
I don’t look back at all

Oh, dang, oh, my,
now I can’t hide
Said I knew myself but I guess I lied
It’s okay, it’s okay
it’s okay, it’s okay
If you’re lost
We’re all a little lost
and it’s all right
It’s okay, it’s okay
it’s okay, it’s okay
If you’re lost
We’re all a little lost and it’s all right
it’s all right to be lost sometimes

THE WAY

Tidak keliru bila ada yang mengatakan bahwa berbagai jenis penderitaan berlimpah di dunia tempat kita hidup. Dari berita2pun banyak yang berbicara tentang prevalensi penderitaan. Beberapanya banyak terjadi akibat pilihan keliru manusia. Nietzsche mempunyai istilahnya sendiri dalam ‘Thus Spake Zarathustra’, “suram adalah kehidupan manusia, dan tidak berarti; badut mungkin akan menjadi takdirnya.”

Kehidupan, sengsara, dan kebangkitan Yesus Kristus memberi petunjuk dan perspektif baru mengenai cara memaknai penderitaan. Naturally, penderitaan dari dulu ada. Dalam menghadapi penderitaan manusia, daripada bertanya mengapa, Yesus bertindak dan memberikan harapan dan gagasan serta cara pandang baru. Sehingga mengikuti teladan Yesus,-  daripada bertanya, “mengapa?” -, kepercayaan mendalam pada Tuhan Yang Penuh Kasih memungkinkan serta mengilhami bertindak untuk mengatasi penderitaan.

Saint Telemachus, seorang biarawan di awal abad ke-5, merasakan panggilan Tuhan untuk pergi ke Roma. Segera setelah dia tiba di sana, dia menemukan jalan ke Amphitheatre di mana para gladiator bertarung sampai mati untuk menghibur orang banyak. Dia berlari dari tempat duduknya ke tengah Amphitheatre dimana dia berteriak, “Dalam Nama Yesus berhenti!” Dia dirobohkan oleh seorang gladiator dan dicemooh oleh orang banyak. Dia bangkit kembali dan berteriak lagi, “Dalam Nama Yesus berhenti!”  Kali ini, atas desakan orang banyak, dia ditusuk dengan pedang dan sekarat, jatuh ke tanah. Dengan susah payah dia bangkit. Sekali lagi untuk berkata dengan lemah, “Dalam Nama Yesus berhenti!” Kemudian dia meninggal.

Penderitaan Telemachus memungkinkan orang Romawi untuk melihat kejahatan “hiburan” mereka. Kematian yang tidak masuk akal itu akhirnya menjadi penanda hari terakhir pertarungan gladiator di Roma.

Penderitaan Yesus membantu pengikut-Nya untuk melihat dengan cara yang sama. Dalam Matius 25: 31-46 Yesus memberitahu bahwa Dia dapat ditemukan bersama orang sakit, lapar, haus, kesepian, telanjang, dan mereka yang dipenjara. Politik-Nya adalah kasih karunia.

Allah, yang di sepanjang Perjanjian Lama, selalu tersembunyi dari umat-Nya (Jika seseorang melihat Allah, dia akan mati). Pada saat kematian Yesus, tirai di Bait Suci yang memisahkan Allah dari manusia, terkoyak menjadi dua. Kita dapat “langsung” melihat Allah di dalam Yesus yang menderita di kayu salib untuk manusia. Yesus mati untuk mengungkapkan Tuhan yang cukup mengasihi kita untuk menderita bagi kita.

Penderitaan dapat menabur benih kepahitan dan kebencian, namun bukan itu cara murid Yesus harus menanggapinya. Sebaliknya, mereka dipanggil untuk melihat penderitaan sebagai bagian dari kehidupan, dan berusaha menjadi orang yang lebih baik, dan menghidupi kesaksian yang lebih baik, untuk mewujudkan kerinduan untuk dunia yang lebih baik.

SEBUAH KONFERENSI BERBAU FILOSOFIS

Philosophers sedang berkerumun.

Mereka hendak bertanya tentang Tuhan yang memperkenalkan diri-Nya dalam Keluaran, dengan ‘Aku Adalah Aku’,

Panggilan itu muncul ketika orang-orang Israel yang diperbudak di Mesir, berseru kepada Tuhan untuk pembebasan. Dan Tuhan menjawab seruan mereka, dan menggunakan ungkapan “Aku adalah Aku”, untuk memperkenalkan diri-Nya sebagai pembebas mereka.

Dalam Bahasa Ibrani, bagian ini menggunakan kata kerja ehyeh (suatu bentuk dari kata hayah ), biasanya diterjemahkan “Aku” atau “Aku akan menjadi.” Dalam Alkitab, hayah dikatakan membawa bobot tambahan untuk mewakili Tuhan itu sendiri: Yahweh, “Aku.”

Orang2 yang mendekam di bawah cambuk para penindas pada waktu itu, tidak hanya perlu mengetahui bahwa Tuhan itu ada. Mereka juga perlu tahu bahwa Dia hadir bersama mereka. Dan itulah tepatnya yang Tuhan nyatakan kepada Musa dan diabadikan dalam namanya Yahweh, seperti yang didefinisikan oleh kata kerja ehyeh.

Para teolog menunjukkan bahwa Tuhan tidak memiliki permulaan dan tidak bergantung untuk keberadaan yang berkelanjutan pada apa pun selain dirinya sendiri. Yhwh adalah nama yang paling jelas menggambarkan esensi dan identitas ini. Namanya ..’menjadi’. Dalam terjemahan itu (Septuaginta), Keluaran 3:14–15 diterjemahkan, “Allah berbicara kepada Musa, mengatakan, ‘Akulah yang menjadi-Satu (ego eimi ho on). ‘ . . . Katakanlah kepada bani Israel, ‘Yang-Satu (ho on) telah mengutus Aku kepadamu.’” Dengan cara ini, penjelasan Tuhan tentang nama-Nya ditafsirkan sebagai pernyataan keberadaan diri.

Dalam bahasa Ibrani alkitabiah, kata kerja hayah tidak hanya menyampaikan keberadaan tetapi juga keberadaan yang nyata. Ini menunjukkan penampilan, kehadiran, atau berdirinya sesuatu. Sigmund Mowinckel, salah satu Teolog  (terkait “The Name of the God of Moses” jo.  “The Early History of the Verb ‘to Be’”), menjelaskan, kata kerja Ibrani hayah/ehyeh, “bukanlah bahasa Yunani abstrak [einai, ‘menjadi’], keberadaan semata. Bagi bahasa Ibrani ‘menjadi’ tidak hanya berarti ada. . ., tetapi untuk menjadi aktif, untuk mengekspresikan diri dalam keberadaan yang aktif.”

Dalam nama Yahweh, Tuhan membuat dirinya dikenal sebagai makhluk yang hadir —hadir bersama dan untuk umat-Nya. Dan di mana pun hadirat Tuhan dipanggil, pengumuman itu mengandung kepastian perhatianNya, kekuatanNya, dan rahmatNya.

“Yahweh” menunjukkan kepada kita tidak hanya bahwa Tuhan itu ada tetapi juga bahwa Dia dekat dengan umat-Nya dalam kasih.

Immanuel, Tuhan beserta kita.

Seharusnya topik sudah selesai, namun Philosophers masih berkerumun.

Kini mereka hendak bertanya tentang Yesus sebagai seorang filsuf.

Dia pasti seorang filsuf, seseorang berkata, Dia menggunakan bahasa yang hidup dan kiasan, seperti perumpamaan, untuk memungkinkan orang melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Filsuf Amerika Peter Kreeft (seorang Thomist), malah mengatakan, bahwa Yesus itu bukan yang berfilsafat, malahan adalah Filsafat itu sendiri.

Filsuf lain menambahkan, tidak masuk akal untuk percaya bahwa Tuhan akan memberi kita karunia rasionalitas kita, namun memerintahkan kita untuk tidak menggunakannya. Jadi kesimpulan sementara konferensi berbau filosofis, kita bersyukur Iman diajarkan sebagai suatu kebajikan, sekaligus kepercayaan pada apa yang rasional, bukan iman yang buta.

NOT TOTALLY MONKEY

Konon dalam setiap manusia, ada binatang buas yang tersembunyi.

Dostoyevsky meng-istilahkannya sebagai kebiadaban yang melekat pada manusia. Hobbes menyebutnya kecenderungan alami manusia, suatu  kondisi yang disebut Warre; semacam situasi dimana setiap orang melawan setiap orang.

Kant menyebutnya sebagai konflik bawaan manusia. “Perang, … tampaknya sudah mandarah daging dalam sifat manusia, dan bahkan dianggap sebagai sesuatu yang mulia dimana manusia diilhami oleh kecintaannya pada kehormatan, …” Ini pendapat Kant yang tetap mempertahankan konsepsi pesimistis tentang umat manusia. Yang dalam perkembangannya akal manusia lalu mengajarinya manfaat dari kerukunan dan damai, yang mendorong manusia untuk mempertimbangkan dan mewujudkan pengaturan yang lebih damai dari urusan mereka.

Beberapa yang lain, lebih positif. Kenneth Waltz, misalnya, meskipun sifat manusia tidak diragukan lagi berperan dalam menimbulkan perang, namun tidak dengan sendirinya menjelaskan perang dan perdamaian, …kadang2 dia berperang, kadang2 tidak.

Socrates mengajak mengawalinya dengan komitmen pada argumen rasional yang cermat dan eksplisit, serta transparansi ucapan. Tujuannya untuk menunjukkan kepada orang2, struktur batin pemikiran mereka sendiri, atau kadang2 atas kurangnya kejelasan dalam pemikiran mereka. Komitmen terhadap akal ini memiliki kepentingan sosial. Seperti yang dilihat Socrates, sebagian besar pemikiran dalam kehidupan politik adalah ceroboh, penuh dengan istilah yang tidak jelas, penalaran yang salah, dan kontradiksi yang tersembunyi.

Kekerasan menghancurkan kehidupan dan lingkungan. Beberapa film juga menggambarkan ke-absurd-an kekerasan dengan segala dampaknya. Manusia harus mencari kesempatan untuk berdialog dan belajar, dalam semua disiplin ilmu, juga seni seperti film. Memang terlalu banyak detail dan kompleksitas kehidupan manusia yang sebenarnya. Namun manusia harus tetap mendidik dirinya sendiri untuk lebih peduli,  belajar untuk lebih memahami aspek2 kehidupan manusia satu dengan yang lain dengan lebih baik.

Dalam Kitab Suci ada kisah bagaimana orang yang kerasukan telah terusir dari ras manusia. Setelah pengusiran setan, kemanusiaannya pulih sepenuhnya dan dia bergabung kembali dengan ras manusia, berpakaian dan menguasai kembali pikirannya.

Berani memilih untuk menguasai pikiran sendiri, berani mengkritik diri sendiri, dan dalam beberapa hal berani mengubah diri sendiri. Atau pilihan lainnya, kerasukan dan kehilangan kemanusiaan.

#penggemar  movie “Spirited Away” Chihiro no kamikakushi dan “My Neighbor Totoro”  Tonari no Totoro.-

Catatan Carut Marut

Rusia meng-invasi Ukraina. Dan sekarang pasukannya sudah mencapai pinggiran Ibukota Ukraina, Kyiv. Mengapa Rusia menyerang Ukraina? Dalam pidatonya, Presiden Putin menyatakan, Rusia tidak merasa aman dari apa yang dia sebut sebagai ancaman konstan dari Ukraina modern.

Rusia gamang. Karena langkah Ukraina menuju Uni Eropa dan aliansi militer NATO. Ukraina berada di timur Eropa, dibatasi oleh Rusia di timur laut, timur, dan tenggara, dan Laut Hitam di selatan. Di barat daya, barat, dan utara, Ukraina berbatasan, searah jarum jam, dengan Moldova, Rumania, Hongaria, Slovakia, Polandia, dan Belarus. Pemerintah Rusia khawatir bahwa keanggotaan Ukraina di Uni Eropa dan NATO membuat Rusia terkepung  ‘jajaran tembok’ negara2 sekutu barat, ditambah Korea Selatan dan Jepang yang memang bersekutu dengan AS.

Belum selesai carut marut ini, tiba2 Kim Jong-un meramaikan kegalauan dunia dengan melakukan apa yang diklaimnya sebagai uji coba peluru kendali taktis, dengan menembakkan lagi dua rudal jelajah (total  ada 6 rudal balistik sejak 5 Januari). Alasannya? Karena merasa diabaikan, dan hendak menunjukkan fakta kehidupan (dia hendak minta bantuan ekonomi ke AS), dengan menerbangkan rudal balistik jarak pendek, lalu melanjutkan provokasi dengan uji coba rudal jarak menengah dan jarak jauh yang diselingi uji coba nuklir.  

Sungguh ironis. Bumi semakin tua dan reot peot. Manusia? Galau malau, tunggang langgang.

du Miroir

Adalah J.Lacan yang menggunakan tahap permulaan pengenalan diri sendiri melalui cermin. Konsepnya, cermin khususnya, mengubah diri menjadi objek yang dapat dilihat dari luar, terutama sejak usia dini.

Dalam pengembangannya, cermin dianggap membantu mengembangkan rasa identitas diri, terutama anak2, namun tidak benar2 membuat mereka mengenali diri – identitas dan kepribadian -. Karena prediksi tersebut tidak berlaku bagi individu yang tidak mempunyai kapasitas melihat kedirian mereka sendiri.

Pengembangan selanjutnya, cermin diabstraksikan ke titik yang tidak lagi menggunakan cermin literal, namun juga berupa pengamatan anak terhadap perilaku yang diamati dalam gerakan meniru subjek lain. Sesaat setelah subjek dengan gembira mengambil gambarnya sebagai miliknya, dia menoleh ke arah ‘yang lain’. Mengenali diri sendiri sebagai “aku” sama saja dengan mengenali diri sendiri sebagai orang lain: (“ya, orang di sana itu adalah aku”).

Upaya menemukan subjek terbukti sulit untuk dipahami, bahkan dapat membawa kepada tindak mengasingkan diri, -antara kebencian (“saya benci versi diri saya yang itu”) dan cinta (“saya ingin menjadi seperti gambar itu”)-. Sang Buddha pun berdiam diri ketika ditanya apakah ada ‘diri’ atau tidak, karena itu menjadi penyebab utama perselisihan.

Kita hidup di dunia yang sangat menghakimi hari ini. Jika anda terlihat berbeda, bertindak berbeda, berbicara berbeda atau bahkan berpikir berbeda, ada beberapa orang yang akan menghakimi anda (bahkan dengan kasar). Walau tentu saja ada perbedaan antara membuat pengamatan objektif tentang seseorang vs. menghakimi mereka. Kant percaya bahwa akal juga merupakan sumber moralitas, dan bahwa estetika muncul dari kemampuan penilaian yang tidak memihak (pemikiran yang kritis dan reflektif).
Sebagai suatu keharusan bekerja menurut hukum yang tidak kita ketahui, kita menyebutnya takdir, sebagai konsep pemikiran kebijaksanaan yang lebih tinggi yang menentukan arah alam dan mengarahkannya ke tujuan akhir yang objektif dari umat manusia.

“Jangan menghakimi, atau kamu juga akan dihakimi. Karena seperti kamu menghakimi orang lain, kamu akan dihakimi, dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, itu akan diukurkan kepadamu.”
Bagaimanapun kita perlu melepaskan penilaian yang tidak adil, menerima tanggung jawab atas tindakan kita sendiri dan berhenti menggunakan Tuhan untuk mendukung agenda atau dosa kita. Dan mengenai refleksi masa lalu, mengutip Gandalf (dalam The Lord of The Rings, The Return of The King): ‘saya tidak akan mengatakan ‘jangan menangis’, karena tidak setiap air mata itu buruk’.